CNG.online: - Bandung Beredarnya foto syur mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati beberapa waktu lalu sangat menjadi sorotan bagi sejumlah kalangan, termasuk pakar pendidikan. Salah satunya Dedi Mulyasana, Mantan Rektor Universitas Islam Nusantara Bandung.
Dedi berpendapat kasus yang terjadi pada mahasiswa kampus yang dinaungi Departemen Agama tersebut merupakan imbas dari kesalahan sistem pendidikan di Indonesia.
"Yang terjadi di Indonesia bukan proses pendidikan, melainkan pengajaran ilmu pengetahuan tentang berjuta konsep dan teori," ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (14/2/2015).
Dijelaskan, sistem pendidikan sekarang mengedepankan ujian sebagai puncak proses yang dilalui dan puncak pestasi ada saat siswa mampu menjawab soal-soal dari dosen dengan baik. Hal tersebut memperlemah tujuan pendidikan secara filsafat dan teori.
"Hal itu menyebabkan urusan aspek keimanan dan nurani kurang mendapatkan porsi yang harusnya dikembangkan, sebagai salah satu unsur kognitif. Karenanya, yang keluar bukan profesional, sekadar pelajar yang mendapatkan ijazah."
Dedi melanjutkan, hal itulah yang terjadi pada kasus ini. Meskipun basis keilmuannya agama, tapi kenyataannya sang pelajar hanya mendapatkan transferan ilmu pengetahuan soal keagamaan, bukan menjadikan karakter yang baik.
"Dia tahu karakter yang benar dan jelek, tapi tidak tau cara menghadapi suap menyuap, bagaimana menghadapi yang bukan muhrim. Level keimanan juga harus diperhatikan" katanya.
Untuk itu, Dedi sangat menyarankan perubahan sistem pendidikan yang saat ini hanya mengedepankan keunggulan administratif tidak bersifat profesional dalam pendidikan, sehingga hasilnya tidak profesional juga. Sudah tertera pula pada UU Pendidikan No.14 tahun 2005, di mana pendidik harus profesional.
Dari sudut pandang mahasiswa atau pelajar lainnya, Dedi berpendapat anak tersebut harus segera mendapat pmbinaan karena bisa saja ada kelainan psikologis. Namun, Dedi mengaku meragukan kebenaran kasus tersebut apakah benar atau ada rekayasa. "Jika rekayasa harusnya diusut kepolisian".
Dedi berpendapat kasus yang terjadi pada mahasiswa kampus yang dinaungi Departemen Agama tersebut merupakan imbas dari kesalahan sistem pendidikan di Indonesia.
"Yang terjadi di Indonesia bukan proses pendidikan, melainkan pengajaran ilmu pengetahuan tentang berjuta konsep dan teori," ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (14/2/2015).
Dijelaskan, sistem pendidikan sekarang mengedepankan ujian sebagai puncak proses yang dilalui dan puncak pestasi ada saat siswa mampu menjawab soal-soal dari dosen dengan baik. Hal tersebut memperlemah tujuan pendidikan secara filsafat dan teori.
"Hal itu menyebabkan urusan aspek keimanan dan nurani kurang mendapatkan porsi yang harusnya dikembangkan, sebagai salah satu unsur kognitif. Karenanya, yang keluar bukan profesional, sekadar pelajar yang mendapatkan ijazah."
Dedi melanjutkan, hal itulah yang terjadi pada kasus ini. Meskipun basis keilmuannya agama, tapi kenyataannya sang pelajar hanya mendapatkan transferan ilmu pengetahuan soal keagamaan, bukan menjadikan karakter yang baik.
"Dia tahu karakter yang benar dan jelek, tapi tidak tau cara menghadapi suap menyuap, bagaimana menghadapi yang bukan muhrim. Level keimanan juga harus diperhatikan" katanya.
Untuk itu, Dedi sangat menyarankan perubahan sistem pendidikan yang saat ini hanya mengedepankan keunggulan administratif tidak bersifat profesional dalam pendidikan, sehingga hasilnya tidak profesional juga. Sudah tertera pula pada UU Pendidikan No.14 tahun 2005, di mana pendidik harus profesional.
Dari sudut pandang mahasiswa atau pelajar lainnya, Dedi berpendapat anak tersebut harus segera mendapat pmbinaan karena bisa saja ada kelainan psikologis. Namun, Dedi mengaku meragukan kebenaran kasus tersebut apakah benar atau ada rekayasa. "Jika rekayasa harusnya diusut kepolisian".
No comments:
Post a Comment